Tapifakta positif di atas tampaknya tidak sejalan dengan perilaku sosial umat Islam di Indonesia. Banyak pemeluk Islam di Indonesia tidak mengaitkan ibadah ritual (salat, puasa, haji) dengan perilaku sosial secara luas. Puasa lebih dilihat sebagai kewajiban yang harus dijalankan tanpa melihat bagaimana mutu puasa itu. BIYANTO; Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Semua agama mengajarkan pentingnya menjaga keselarasan ibadah ritual dan amal sosial. Jika ada orang rajin beribadah ritual sementara amal sosialnya buruk, sejatinya orang itu tidak memahami substansi ajaran agama secara utuh. Hal itu berarti, setiap orang penting memahami dimensi sosial dari setiap ibadah ritual. Meski ibadah-ibadah ritual itu dilakukan dalam rangka membangun hubungan baik dengan Allah SWT hablun minallah, tujuan akhirnya adalah agar seseorang memperbaiki akhlaknya pada sesama hablun minannas. Pesan ini penting agar tidak terjadi kesenjangan antara ibadah ritual dan amal sosial. Dalam perspektif psikologi ditegaskan, orang yang melaksanakan ibadah ritual dengan baik, tetapi amal sosialnya buruk, berarti dia mengalami kepribadian terbelah split of personality. Dalam perspektif psikologi ditegaskan, orang yang melaksanakan ibadah ritual dengan baik, tetapi amal sosialnya buruk, berarti dia mengalami kepribadian terbelah. Dalam tingkat tertentu, praktik keagamaan model ini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, ada orang rajin bersedekah, tetapi setelah ditelisik, ternyata sedekah itu bersumber dari harta hasil korupsi. Orang seperti ini layak disebut sakit mental mental illness. Dalam kasus lain, ada juga orang rajin beribadah ke Tanah Suci. Uniknya, ongkos perjalanan ke Tanah Suci ternyata bersumber dari uang haram. Inilah contoh potret ritual terbelah yang digambarkan Moeslim Abdurrahman dalam On Hajj Tourism In Search of Piety and Identity in the New Order Indonesia 2000. Orang dapat melaksanakan perbuatan baik dan buruk secara bersamaan. Padahal, agama apa pun pasti tidak membenarkan pemeluknya berkepribadian terbelah. Semua agama pasti memerintahkan pemeluknya menjadi orang terbaik dalam pandangan Tuhan dan sesama. Adanya kecenderungan orang memisahkan kesalehan ritual dan sosial juga dapat dibaca dalam penelitian Global Advisor bertajuk Views on Globalization and Faith Juli 2011. Di antara negara yang menjadi sasaran penelitian adalah Indonesia. Padahal, agama apa pun pasti tidak membenarkan pemeluknya berkepribadian terbelah. Semua agama pasti memerintahkan pemeluknya menjadi orang terbaik dalam pandangan Tuhan dan sesama. Pertanyaan penelitian yang diajukan, seputar pentingnya menjalankan berbagai ibadah ritual keagamaan. Umumnya, responden memandang penting menjalankan ibadah ritual dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tidak ada responden yang menyatakan ibadah ritual tidak penting. Semua ibadah ritual penting sehingga wajib ditunaikan. Jawaban tersebut sejalan dengan meningkatnya gairah umat untuk beribadah. Termasuk gairah umat beribadah selama Ramadhan. Dalam kondisi pandemi sekalipun, gairah umat untuk beribadah sungguh luar biasa. Gairah umat untuk beribadah juga tampak melalui jumlah antrean calon jamaah haji yang semakin mengular hingga puluhan tahun. Bahkan, di sejumlah daerah antrean jamaah untuk menunaikan ibadah haji lebih dari 30 tahun. Semua fenomena ini menunjukkan, telah terjadi peningkatan religiositas di kalangan umat. Pertanyaannya, jika ibadah ritual dianggap penting, mengapa kasus korupsi yang melanda negeri tercinta terus meningkat? Rasanya tak ada instansi pemerintah yang benar-benar bersih dari kasus korupsi dengan semua ekspresinya. Bahkan, sewaktu-waktu kita juga harus siap dikejutkan dengan insiden operasi tangkap tangan, yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK terhadap pejabat publik. Semua fenomena ini menunjukkan, telah terjadi peningkatan religiositas di kalangan umat. Pertanyaannya, jika ibadah ritual dianggap penting, mengapa kasus korupsi yang melanda negeri tercinta terus meningkat? Selama pandemi, kita juga menyaksikan sejumlah pejabat publik ditangkap KPK karena terlibat kasus korupsi. Karena itulah, tidak mengherankan jika emosi publik begitu membuncah tatkala melihat ada pejabat, yang begitu tega melakukan korupsi di tengah rakyat sedang kesulitan hidup akibat pandemi. Padahal, korupsi merupakan dosa kemanusiaan yang luar biasa besar dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih ironis lagi, yang dikorupsi itu ternyata adalah dana bantuan sosial, yang semestinya disalurkan untuk masyarakat terdampak pandemi. Pertanyaannya, bukankah pelakunya merupakan pemeluk agama yang semestinya memandang penting dimensi kemanusiaan dari ajaran agamanya? Jawabnya, sangat mungkin mereka memahami ajaran agama secara parsial. Peringatan keras Allah layak direnungkan agar kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama. Mereka berpandangan, beragama merupakan urusan pribadi hamba dengan Tuhannya. Mereka juga tidak menyadari, ada keterkaitan antara ibadah ritual dan amal sosial. Pemahaman seperti ini harus diluruskan karena ajaran agama selalu menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Ditegaskan dalam Alquran, Allah SWT mengutuk orang yang shalat, tetapi lalai dengan maknanya. Allah juga mencela orang yang tidak tulus riya dan tidak mau menolong orang lain QS Al-Ma’un 5-7. Allah menyebut mereka sebagai pendusta agama. Peringatan keras Allah layak direnungkan agar kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama. Para pendusta agama dalam konteks ini adalah mereka yang tidak mampu menyelaraskan ibadah ritual dengan amal sosial. Ketiga kalau ibadah ritual kita bercacat, kita dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Misalnya ritual puasa. Kalau kita melanggar larangan puasa, maka salah satu tebusannya adalah member makan kepada fakir miskin. Juga ritual haji, kalau terkena dam, kita harus menyembelih binatang dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Mengapa Ibadah Ritual Harus Sejalan Dengan Ibadah Sosial – Setiap masyarakat memiliki perbedaan agama, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Salah satu yang menjadi perbedaan yang paling menonjol adalah ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati Tuhan, sedangkan ibadah sosial adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati sesama manusia. Keduanya berbeda satu sama lain, namun entah mengapa ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan. Mengapa ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan? Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kita tidak bisa melakukan ibadah ritual tanpa menghormati sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena dalam ibadah ritual, kita harus memiliki jiwa yang bersih dan hati yang tulus, yang hanya bisa didapatkan dengan menghormati sesama manusia. Selain itu, ibadah ritual juga memerlukan persahabatan, kerja sama, dan saling menghormati yang hanya bisa dilakukan dengan menghormati sesama manusia. Selain itu, ibadah sosial juga dianggap sebagai bagian penting dari ibadah ritual. Ibadah sosial adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati sesama manusia. Ibadah sosial dapat berupa menyelamatkan orang yang terdampak bencana alam, menyumbangkan dana untuk anak-anak yatim piatu, atau melakukan karya sosial lainnya. Dengan melakukan ibadah sosial, kita berusaha untuk menghormati sesama manusia dan menjadi contoh bagi orang lain. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, sementara ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Dengan kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial, kita dapat mengikuti ajaran dari agama kita dengan lebih baik dan memajukan diri serta lingkungan sekitar. Mengapa ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan? Karena keduanya adalah prasyarat untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, dan ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Dengan demikian, ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan agar kita dapat menjadi orang yang lebih baik, dan mencapai tujuan hidup dengan lebih baik. Daftar Isi 1 Penjelasan Lengkap Mengapa Ibadah Ritual Harus Sejalan Dengan Ibadah 1. Setiap masyarakat memiliki perbedaan agama, budaya, dan nilai-nilai yang 2. Ibadah ritual adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati Tuhan, sedangkan ibadah sosial adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati sesama 3. Ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan karena kita tidak bisa melakukan ibadah ritual tanpa menghormati sesama 4. Ibadah ritual dan ibadah sosial memerlukan persahabatan, kerja sama, dan saling menghormati yang hanya bisa dilakukan dengan menghormati sesama 5. Ibadah sosial juga dianggap sebagai bagian penting dari ibadah 6. Ibadah sosial berupa menyelamatkan orang yang terdampak bencana alam, menyumbangkan dana untuk anak-anak yatim piatu, atau melakukan karya sosial 7. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan hidup yang lebih 8. Ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, sementara ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. 1. Setiap masyarakat memiliki perbedaan agama, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Setiap masyarakat memiliki perbedaan agama, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam beberapa hal, termasuk bagaimana cara masyarakat melakukan ibadah. Ibadah ritual adalah cara yang digunakan untuk menghormati Tuhan atau memuja-Nya. Ibadah sosial adalah cara masyarakat mempraktikkan nilai-nilai agama mereka dengan cara menghormati dan melayani orang lain. Keduanya merupakan bagian penting dari kehidupan beragama. Salah satu alasan mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial adalah bahwa ibadah ritual seharusnya tidak hanya berfokus pada diri sendiri. Ibadah ritual harus selalu didasarkan pada nilai-nilai agama dan tidak boleh terpisah dari nilai-nilai agama. Dengan demikian, ibadah ritual harus diarahkan untuk menghormati dan melayani orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri. Kemudian, ibadah ritual harus mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh agama masing-masing. Untuk agama yang mengajarkan kebaikan, ibadah ritual harus selalu didasari oleh nilai-nilai kebaikan seperti toleransi, kasih sayang, dan pengampunan. Ibadah ritual harus juga mengajarkan pada orang lain tentang nilai-nilai agama yang dianut, sehingga mereka bisa lebih menghargai dan menghormati agama dan budaya lain. Dengan cara ini, ibadah ritual akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial karena ibadah ritual harus selalu didasari oleh kasih sayang dan pengampunan. Ibadah ritual harus menciptakan suasana yang menghargai dan menghormati orang lain, bukan menjadi alat untuk mengekspresikan kebencian dan ketidakadilan. Dengan cara ini, masyarakat dapat saling menghormati dan bersikap saling menghormati dalam menjalankan ibadah mereka. Kesimpulannya, ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial untuk memastikan bahwa ibadah ritual mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh agama masing-masing, yaitu nilai-nilai kebaikan, kasih sayang, dan pengampunan. Dengan cara ini, ibadah ritual dapat menciptakan suasana yang saling menghormati dan saling menghargai dalam masyarakat. Dengan cara ini, ibadah ritual dapat menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat. 2. Ibadah ritual adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati Tuhan, sedangkan ibadah sosial adalah tindakan yang dikerjakan untuk menghormati sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial adalah dua jenis ibadah yang berbeda yang memiliki tujuan yang berbeda pula. Ibadah ritual adalah tindakan yang dikerjakan oleh orang untuk menghormati Tuhan dan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ibadah sosial adalah tindakan yang dikerjakan oleh orang untuk menghormati sesama manusia. Kedua ibadah ini harus dilakukan secara beriringan dan sejalan satu dengan yang lainnya. Ibadah ritual adalah cara untuk mengungkapkan rasa hormat dan kasih sayang kepada Tuhan. Dengan melakukan ibadah ritual, orang dapat mengekspresikan keterikatan mereka dengan Tuhan. Ibadah ritual juga dapat membantu orang mengembangkan hubungan yang lebih kuat dengan Tuhan. Melalui ibadah ritual, orang dapat belajar untuk menghargai dan menghormati Tuhan. Ibadah sosial adalah cara untuk menghormati dan menghargai sesama manusia. Dengan melakukan ibadah sosial, orang dapat menunjukkan rasa cinta dan kepedulian mereka terhadap orang lain. Ibadah sosial dapat membentuk rasa saling percaya dan saling menghargai satu sama lain. Ibadah sosial juga dapat membantu orang mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Kedua ibadah ini harus dilakukan secara beriringan dan sejalan satu dengan yang lainnya. Dengan melakukan ibadah ritual dan ibadah sosial secara sejalan, orang dapat menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada Tuhan dan sesama manusia. Dengan beribadah secara sejalan, orang dapat meningkatkan hubungan mereka dengan Tuhan dan dengan orang lain. Ibadah ritual dan ibadah sosial dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kedekatan dengan Tuhan dan dengan orang lain. Oleh karena itu, ibadah ritual dan ibadah sosial harus dilakukan secara beriringan dan sejalan satu dengan yang lainnya. Dengan melakukan kedua ibadah ini, orang dapat menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada Tuhan dan sesama manusia. Dengan ibadah ritual dan ibadah sosial, orang dapat meningkatkan hubungan mereka dengan Tuhan dan dengan orang lain. Dengan beribadah secara sejalan, orang dapat meningkatkan kedekatan mereka dengan Tuhan dan dengan orang lain. 3. Ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan karena kita tidak bisa melakukan ibadah ritual tanpa menghormati sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan karena kita tidak bisa melakukan ibadah ritual tanpa menghormati sesama manusia. Ini adalah hal inti dari sebagian besar agama di dunia, bahwa kita harus menghormati sesama dan menempatkan kesetaraan di antara semua orang. Ibadah sosial adalah cara kita menghormati satu sama lain, baik secara verbal atau tindakan nyata. Ibadah sosial adalah cara kita menghormati satu sama lain, baik secara verbal atau tindakan nyata. Ibadah ritual membantu kita menghormati sesama manusia dan menciptakan rasa saling menghargai. Ritual ibadah kita berbeda-beda tergantung pada agama dan keyakinan kita. Namun, tujuan dari setiap ritual ibadah adalah untuk menghormati sesama dan membantu kita mengenal diri kita sendiri. Sebagai orang yang beragama, kita harus menghormati orang lain dengan cara yang ditentukan oleh agama kita. Kita harus menghormati sesama dan menghargai perbedaan yang kita miliki. Kita harus menghormati orang lain tanpa membedakan ras, jenis kelamin, agama, atau orientasi seksual. Hal ini juga berlaku untuk ritual ibadah kita. Kita harus menghormati orang lain dengan cara yang kita anggap tepat, sesuai dengan agama kita. Kita juga harus menghormati orang lain saat kita melakukan ibadah ritual. Kita harus menghormati orang lain sebagai teman ibadah kita. Kita harus menghormati setiap orang yang terlibat dalam ibadah kita dan menghargai perbedaan kita. Kita harus menghormati orang lain dengan penuh kasih sayang dan saling menghargai satu sama lain. Kesimpulannya, ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan karena kita tidak bisa melakukan ibadah ritual tanpa menghormati sesama manusia. Ibadah ritual dapat membantu kita menghormati sesama dan membantu kita mengenal diri kita sendiri. Dengan menghormati sesama dan menghargai perbedaan kita, kita dapat mencapai keharmonisan dan menjaga keutuhan komunitas kita. 4. Ibadah ritual dan ibadah sosial memerlukan persahabatan, kerja sama, dan saling menghormati yang hanya bisa dilakukan dengan menghormati sesama manusia. Ada dua jenis ibadah yang diakui oleh agama, yaitu ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual adalah ibadah yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan agama dan terdiri dari berbagai ritual seperti puasa, salat, dan haji. Ibadah sosial adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu dan melayani sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial harus sejalan karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengabdi kepada Tuhan dan membantu sesama manusia. Keduanya juga sama-sama membutuhkan kesungguhan dan kesabaran untuk melaksanakan aturan-aturan agama. Ketika ibadah ritual dan ibadah sosial berjalan sejalan, maka mereka akan memberikan pengaruh yang saling melengkapi. Ibadah ritual mengajarkan kita untuk menghormati Tuhan dan menjalankan perintah-Nya, sedangkan ibadah sosial mengajarkan kita untuk menghormati sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial juga saling melengkapi satu sama lain, sehingga kita dapat menghargai dan menghormati Tuhan dan sesama manusia. Ibadah ritual dan ibadah sosial memerlukan persahabatan, kerja sama, dan saling menghormati yang hanya bisa dilakukan dengan menghormati sesama manusia. Persahabatan, kerja sama, dan saling menghormati merupakan fondasi untuk membentuk hubungan yang harmonis antara Tuhan dan manusia. Pada dasarnya, ibadah ritual dan ibadah sosial adalah cara untuk menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada Tuhan dan sesama manusia. Dengan menghormati Tuhan dan sesama manusia, kita dapat membangun hubungan yang lebih erat antara keduanya. Dengan begitu, kita dapat berbagi dan mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Ibadah ritual dan ibadah sosial akan menjadi lebih bermanfaat jika kita dapat melakukannya dengan rasa hormat dan kasih sayang terhadap Tuhan dan sesama manusia. Kesimpulannya, jika ibadah ritual dan ibadah sosial berjalan sejalan, maka akan memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Dengan menghormati Tuhan dan sesama manusia, kita dapat membangun hubungan yang harmonis dan mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, ibadah ritual dan ibadah sosial dapat menjadi lebih bermanfaat bagi manusia. 5. Ibadah sosial juga dianggap sebagai bagian penting dari ibadah ritual. Ibadah ritual dan ibadah sosial adalah bagian penting dari ajaran agama. Keduanya dianggap sebagai cara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Keduanya juga dianggap sebagai cara untuk mendekatkan seseorang dengan Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa ibadah ritual dan ibadah sosial dilakukan secara sejalan. Pertama, ibadah ritual dan ibadah sosial merupakan bagian dari ajaran agama. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai kehidupan yang lebih baik dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, jika seseorang ingin beribadah secara benar, mereka harus menyelaraskan ibadah ritual dan ibadah sosial mereka. Kedua, ibadah ritual dan ibadah sosial adalah cara yang berbeda untuk melaksanakan ajaran agama. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai kesucian jiwa. Ibadah ritual memberi kita kesempatan untuk melakukan ritual khusus yang ditetapkan dalam ajaran agama. Sementara itu, ibadah sosial memberi kita kesempatan untuk mempraktikkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa keduanya dilakukan secara sejalan untuk memastikan bahwa ajaran agama diterapkan dengan benar. Ketiga, ibadah ritual dan ibadah sosial adalah cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Ibadah ritual memberi kita kesempatan untuk menghormati Tuhan dengan melakukan ritual khusus. Sementara itu, ibadah sosial memberi kita kesempatan untuk menghormati Tuhan dengan cara menjadi warga yang bertanggung jawab dan berbuat baik kepada sesama. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa keduanya dilakukan secara sejalan untuk memenuhi kebutuhan spiritual kita. Keempat, ibadah ritual dan ibadah sosial adalah cara untuk menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan. Ibadah ritual memberi kita kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan dengan melakukan ritual khusus. Sementara itu, ibadah sosial memberi kita kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan dengan cara hidup sebagai warga yang bertanggung jawab dan berbuat baik kepada sesama. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa keduanya dilakukan secara sejalan untuk menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan. Kelima, ibadah sosial juga dianggap sebagai bagian penting dari ibadah ritual. Ibadah sosial memberi kita kesempatan untuk menghormati Tuhan dengan cara hidup sebagai warga yang bertanggung jawab dan berbuat baik kepada sesama. Oleh karena itu, ibadah sosial sangat penting untuk dilakukan secara sejalan dengan ibadah ritual. Dengan begitu, ajaran agama dapat dilaksanakan secara benar dan kita dapat mencapai tujuan kita untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. 6. Ibadah sosial berupa menyelamatkan orang yang terdampak bencana alam, menyumbangkan dana untuk anak-anak yatim piatu, atau melakukan karya sosial lainnya. Ibadah sosial adalah bentuk ibadah yang bertujuan untuk membantu sesama. Ibadah sosial ini merupakan bagian dari ibadah ritual, yang bertujuan untuk menunjukkan komitmen seseorang terhadap agama yang dianut. Dengan demikian, ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial. Mengapa ibadah sosial harus dilakukan bersama-sama dengan ibadah ritual? Ada beberapa alasan. Pertama, dengan ibadah sosial, kita dapat menemukan pengalaman spiritual yang lebih dalam. Ibadah sosial memungkinkan kita untuk menghubungkan kepada Tuhan melalui cara yang berbeda. Kedua, ibadah sosial membuat kita lebih bersyukur. Dengan melakukan ibadah sosial, kita dapat melihat banyak orang yang lebih menderita daripada kita. Hal ini membuat kita lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Ketiga, ibadah sosial akan membantu kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ibadah sosial akan membantu kita untuk mengembangkan nilai-nilai kebaikan, seperti empati, kasih sayang, dan toleransi. Keempat, ibadah sosial dapat membantu kita untuk mengembangkan relasi dengan sesama. Dengan melakukan ibadah sosial, kita dapat membangun jaringan yang lebih luas dengan orang lain. Hal ini akan membantu kita untuk belajar lebih banyak tentang agama dan menemukan orang yang berpikiran serupa. Kelima, ibadah sosial akan membantu meningkatkan komitmen kita terhadap agama. Dengan melakukan ibadah sosial, kita dapat melihat bahwa kita benar-benar peduli dengan orang lain dan berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama. Keenam, ibadah sosial berupa menyelamatkan orang yang terdampak bencana alam, menyumbangkan dana untuk anak-anak yatim piatu, atau melakukan karya sosial lainnya. Dengan melakukan ibadah sosial seperti ini, kita dapat menunjukkan komitmen kita terhadap agama yang kita anut. Ibadah sosial seperti ini juga dapat membantu kita untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap sesama dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik. Kesimpulannya, ibadah sosial harus dilakukan bersamaan dengan ibadah ritual. Ibadah sosial akan membantu kita untuk mencapai pengalaman spiritual yang lebih dalam, menjadi pribadi yang lebih baik, membantu meningkatkan komitmen kita terhadap agama yang kita anut, dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik. 7. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Ibadah sosial adalah tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain sementara ibadah ritual adalah tindakan yang dilakukan untuk beribadah kepada Tuhan. Kedua hal ini saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lain. Ibadah ritual dan ibadah sosial adalah dua aspek yang harus selalu disatukan. Ibadah ritual berfokus pada hubungan antara seorang dengan Tuhan, sementara ibadah sosial berfokus pada hubungan antara orang-orang dengan sesama manusia. Ibadah ritual memberikan sebuah dasar untuk pengembangan ibadah sosial. Ibadah sosial akan menjadi lebih efektif jika ia disertai dengan ibadah ritual. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah penting karena ini menghasilkan solusi yang lebih baik untuk masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Ibadah ritual dan ibadah sosial dapat digunakan untuk membantu masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Ibadah ritual dan ibadah sosial juga membantu dalam membangun jaringan solidaritas yang saling menghormati. Ini adalah jaringan yang didasarkan pada hubungan yang saling menghormati antara orang-orang yang bertindak atas dasar kasih sayang, pengertian, dan toleransi. Ibadah sosial dapat membantu dalam menciptakan situasi yang saling memperhatikan dan menghormati di antara anggota masyarakat. Ibadah sosial juga membantu dalam membangun lingkungan yang lebih aman dan sejahtera. Ibadah sosial memberikan sebuah cara untuk menciptakan keamanan dalam masyarakat. Ibadah sosial juga dapat membantu dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dengan fokus pada peningkatan hak asasi manusia, kesejahteraan, dan pembangunan berkelanjutan. Ibadah ritual dan ibadah sosial juga membantu dalam membangun hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Ibadah sosial berfokus pada pemeliharaan alam dan pengurangan dampak negatif pada lingkungan. Ibadah sosial juga dapat membantu dalam meningkatkan kesadaran manusia terhadap iklim dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Kombinasi antara ibadah ritual dan ibadah sosial adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Ibadah ritual memberikan sebuah dasar untuk pengembangan ibadah sosial, yang dapat membantu dalam membangun jaringan solidaritas, lingkungan yang lebih aman dan sejahtera, dan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Ibadah ritual dan ibadah sosial membantu dalam meningkatkan kualitas hidup dan membangun masyarakat yang lebih baik. 8. Ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, sementara ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Ibadah ritual dan ibadah sosial adalah komponen penting dalam setiap relasi spiritual. Ibadah ritual melibatkan tindakan berulang yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Ibadah sosial, di sisi lain, adalah sebuah hubungan yang saling menghormati antara orang-orang yang sama atau berbeda, yang melibatkan penghormatan dan pemahaman dari nilai-nilai spiritual bersama. Kedua jenis ibadah ini saling terkait satu sama lain dan saling berkaitan dalam pengertian bahwa ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, sementara ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Keberhasilan kedua jenis ibadah ini tergantung pada kemampuan kita untuk mencapai keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual dapat membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik dengan meningkatkan kesadaran kita tentang tujuan hidup kita dan menghubungkan kita dengan aspek spiritual yang lebih tinggi. Ibadah ritual memungkinkan kita untuk menerapkan nilai-nilai tertentu dan menerima benih-benih spiritual, yang dapat membantu kita mencapai kemajuan pribadi. Ibadah ritual juga dapat membantu kita menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan bersahabat dengan orang lain, karena kita belajar bagaimana menghormati nilai-nilai orang lain dan menghormati mereka tanpa menghakimi. Sementara itu, ibadah sosial membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Ibadah sosial meningkatkan kesadaran kita tentang apa yang diinginkan dan diharapkan orang lain, sehingga kita dapat menghayati nilai-nilai ini dan mentaatinya. Dengan memahami kebutuhan orang lain, kita dapat mengembangkan kemampuan untuk berinteraksi dengan mereka dan membantu mereka mencapai tujuan mereka. Ibadah sosial juga membantu kita memahami dan menghormati nilai-nilai yang dianut oleh orang lain, sehingga kita dapat mengembangkan empati dan kasih sayang untuk semua orang. Keduanya harus diikuti secara bersamaan agar dapat berfungsi dengan baik. Ibadah ritual akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, sementara ibadah sosial akan membantu kita menjadi orang yang lebih berbudi pekerti dan sensitif terhadap orang lain. Dengan mengikuti keduanya secara bersamaan, kita dapat mencapai keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial, yang akan membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih menghormati nilai-nilai orang lain. Sayaberharap umat islam tidak menjadi umat yang ritualistik yakni ibadah hanya untuk mencari pahala," kata Ma'mun. Memaknai ibadah tidak selesai pada dimensi ritual, namun umat Islam juga perlu memaknai pada dimensi sosial kemanusiaan. Ibadah puasa sarat akan pesan-pesan sosial. Surat Al-Baqarah ayat 183 sampai 185 menjelaskan tentang BANDUNG—Selain QS. Al Shaff ayat 10 sampai 13, Agung Danarto juga meyakini bahwa QS. Al Hujurat ayat 10 menjadi landasan teologis dari berkembangnya kegiatan amal usaha di Muhammadiyah. Ayat tersebut juga membicarakan tentang jihad di jalan Allah dengan harta yang dimiliki dan totalitas jiwa yang dipunyai. “QS. Al Hujurat ayat 10 juga memberikan motivasi untuk beramal saleh. Sebab orang beriman, orang yang yakin dengan Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan senantias berjihad dengan harta benda dan totalitas jiwa,” tutur Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat pada Selasa 26/10. Agung juga menyebut bahwa QS. Al Maun juga turut menjadi landasang etos sosial pergerakan amal usaha Muhammadiyah. QS. Al Maun diawali dengan pertanyaan yang cukup menohok, “tahukah kamu siapa yang mendustakan agama?”. Sehingga inti daripada Al Maun ini adalah ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. “Mendustakan agama itu kan seakan-akan beragama, seakan membawa simbol-simbol agama, tetapi sebenarnya dia tidak, inilah yang mendustakan agama. Jadi beragamanya tidak sungguh-sungguh, hanya simbolistik, dan formalitas semata,” terang Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini. Teologi Al-Maun yang digagas dan dikembangkan oleh Kiai Dahlan dipandang oleh Agung berhasil membawa gerakan Muhammadiyah membebaskan kaum lemah dari ketertindasannya, dengan perwujudan konkret adanya pendirian panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Saat ini lembaga-lembaga sosial Muhammadiyah tersebar luas di seluruh Tanah Air. “Perilaku yang mendustakan agama itu di antaranya adalah menghardik anak yatim, tidak memelihara mereka, tidak menyantuni fakir miskin, dan mereka yang tidak peduli pada orang-orang yang lemah. Dari QS. Al Maun ini lahir ide untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,” dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini. Jika Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya selama tiga bulan, kemudian melahirkan tindakan sosial praksis, maka surat Al-’Ashr diajarkan lebih dari delapan bulan. Menurut Agung, pada saat itu penduduk setempat terheran mengapa surat Al-Ashr yang menempati urutan ke 103 ini begitu singkat bisa sampai berbulan-bulan dalam proses belajar-mengajarnya. Dari QS. AL-Ashr, Kiai Dahlan mentradisikan pergerakan Muhammadiyah menjadi golongan yang selalu disiplin tepat waktu dan menjadi gerakan Islam modern atau kekinian. Karenanya, Muhammadiyah memahami Al-Ashr bermakna modern yang mengandung semangat berkemajuan dan berpikiran yang serba melampaui zaman. “Dengan ini, Muhammadiyah terkenal bijak ketika menghadapi isu-isu kontemporer, ketika menghadapi gegap gempita yang ada di luar. Ketika melihat sesuatu itu urgen, Muhammadiyah akan tampil paling depan, tapi kalau tidak urgen, menanggapinya cukup sewajarnya saja,” tegas Agung. Hits 979
Mengapaibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial - 12134986 fhjhgfadt fhjhgfadt 11.09.2017 B. Arab Sekolah Menengah Atas terjawab Mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial 1 Lihat jawaban Iklan Iklan niakurniawati25 niakurniawati25 Karena keduanya sama2 beribadah Iklan Iklan
KH Ahmad Mustofa Bisri pernah mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial. Yang pertama merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas. Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara sosial; begitu pula Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”. Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagi pula, sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima baginya urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng istiqamah daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat “Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, "Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat." Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada kesalehan ritual. Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana yang kita utamakan shalat di awal waktu atau melayani rakyat yang mengurus KTP terlebih dahulu? Atau mana yang harus kita prioritaskan di saat keterbatasan air dalam sebuah perjalanan menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan muqaddamun ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada sehatnya agama. Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak menyerang Ka’bah “Kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa. Inilah fiqh prioritas!Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis“…Kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.”Dengan tegas beliau menyatakan“Saya sendiri memperhatikan -dengan amat menyayangkan- bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya -Saya tidak berkata mereka semuanya- mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.”Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
IbadahRitual dan Ibadah Sosial. Pengejawantahan dari janji tersebut ialah mealaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia mulai berlomba melakukan kebaikan sebagai bukti kepatuhan kepada Tuhan. Maka tak heran di berbagai tempat banyak kita jumpai kegiatan berbau agama yang dengan beragam sebutan atau
Suatu hari Sa’ad bin Abi Waqash menyaksikan peristiwa yang tidak biasa. Nabi Muhammad membagi-bagi sesuatu kepada Arab Badui tapi tidak merata. Ada yang dapat bagian, ada yang tidak. Maka Saad bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah, mengapa engkau beri mereka bagian dan engkau tidak berikan kepada orang itu?, Demi Allah saya menganggap dia itu mukmin sebagaimana yang lain.” Rasul menjawab, “Jangan mengatakan dia seorang Mukmin, tapi katakan dia seorang Muslim.” Peristiwa ini kemudian diabadikan di dalam al-Qur’an قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Orang-orang Arab Badui itu berkata “Kami telah beriman”. Katakanlah “Kamu belum beriman, tapi katakanlah kami telah ber-Islam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. al-Hujurat 12 Dari ayat ini pahami bahwa beragama itu ada tingkatannya, urutan pertama adalah Islam, yang kedua baru iman. Apa itu Islam ? Secara definisi Islam berarti; tunduk, berserah diri dan menyelamatkan. Tunduk dalam arti apapun yang terjadi di alam semesta termasuk manusia ayat tanda atau ayat kauniyah tanda-tanda alam yang menunjukkan akan adanya Sang Pencipta, yaitu Allah dan kekuasaan-Nya, dan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum Allah. Berserah diri bermakna; tidak bisa setengah-setengah. Sebab ber-Islam itu melibatkan seluruh jiwa dan raga. Orang tidak bisa hanya mengikuti salah satu ajarannya dan meninggalkan yang lain yang tidak disukai, tidak bisa juga hanya melakukan ibadah spritual lalu meninggalkan yang ritual. Sedangkan yang dimaksud menyelamatkan adalah orang yang memeluk Islam hidupnya akan selamat dan menyelamatkan orang lain, ini makna dari aslama yang terbentuk dari kata salima. Islam terkait dengan amalan-amalan yang sifatnnya zahir, dimulai dengan syahadat dan diikuti oleh empat rukun lainnya yaitu shalat, zakat, puasa, dan haji. Amalan-amalan itu disebut dengan ibadah mahdhah murni. Dinamakan murni karena ini murni dari Allah dan tidak ada tempat untuk kreasi manusia. Orang Islam dalam hal pengamalan ada tingkatannya. Ada yang ber-Islam yang sekedar mengucap kalimat syahadat saja, tapi setelah itu dia dia tidak menjalankan rukun yang Islam yang lainnya. Adapula yang setelah syahadat hanya hanya shalat saja, ada yang zakat saja, atau hanya suka puasa saja, yang lain tidak dilaksanakan. Ada juga yang sudah melaksanakan semuanya, tapi kehidupan sehari-harinya masih melakukan perbuatan dosa. Disisi lain ada yang sudah mengerjakan semua rukun Islam, tapi tingkatannya hanya sekedar menjalankan kewajiban dan biasanya disertai rasa berat hati dan keluh kesah. Ada pula yang masih tidak konsisten dalam menjalankan shalat, kadang shalat kadang tidak. Dalam urusan shalatnya misalnya, shalat yang seharusnya berfungsi untuk mencegah perbuatan maksiat, tapi tidak seperti itu kenyataanya. Raganya shalat, tapi lisannya masih suka berbohong, tangannya berbuat zalim, korupsi, mencuri, tidak amanah, bahkan membunuh. Ketika berzakat harapannya bukan mencari ridha Allah, tapi agar dipuji oleh orang banyak riya’. Puasa Ramadhannya hanya menahan lapar dan dahaga siang hari di bulan Ramadhan, tapi ketika Ramadhan berlalu, berlalu pula ketaatannya kepada Allah. Hajinya pun demikian, rasa kepekaan sosialnya tidak bertambah. Dia berangkat haji, tapi disaat yang sama tetangganya kelaparan, butuh bantuan dan dia tidak peduli. Dalam kata lain, semua ibadah-ibadah mahdhah diatas tidak mempunyai pengaruh apapun baik secara pribadi, terlebih sosial. Hanya sebatas ritual yang menggugurkan kewajiban, tidak lebih. Itu semua adalah contoh manakala ber-Islam kita tidak dibarengi dengan keimanan. Bagaimana Beragama Pada Tingkat Iman? Iman itu mengandung makna keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan yang terpenting adalah pengamalan dengan anggota tubuh alias perbuatan. Ber-Iman bisa diibaratkan seperti orang yang mencintai. Cinta adalah pekerjaan hati. Jika seorang mencintai maka ukuran cintanya adalah perbuatan. Orang yang mencintai sesuatu pasti ingin melakukan apa saja agar yang dicintai senang, dan dia berusaha untuk meninggalkan apapun agar yang di cintai tidak murka kepadanya. Ber-Iman kepada Allah dan Rasul-Nya berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya. Seorang mukmin, jika dia mencintai Allah dan Rasul, pasti dia tidak akan melakukan apapun kecuali untuk keridahaan Allah; dia tidak juga mengerjakan apa yang Allah benci. Bahkan dalam kehidupannya dia tidak mencintai atau membenci siapa atau apapun, kecuali karena Allah memerintahkan hal itu. Iman itu sebagaimana yang disebut dalam hadits Rasul tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, semua itu membentuk sebuah kesatuan yang sering kita sebut dengan amal shalih. Contoh amal shalih yang merupakan cabang dari itu iman itu seperti; meninggalkan riba, jujur, baik dengan tetangga, bakti kepada orangtua, menegakaan pemerintahan yang adil, amar ma’ruf nahyi mungkar, menghindari sikap boros, mendidik anak-anak dengan baik, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan masih banyak lagi. Jadi, orang yang beriman dengan sempurna pasti orang baik, karena keimanannya kepada Allah dibuktikan dengan semua perilakunya, dia tidak mungkin berbuat jahat kepada siapapun. Baginya perbuatan jahat itu adalah dosa, dan setiap dosa pasti membawa dampak buruk bagi imanannya. Orang ber-Iman pasti Islam. Tapi orang Islam belum tentu beriman. Artinya, bisa saja secara fisik zahir seorang itu memang kelihatan rajin shalat, membayar zakat dan puasa. Tapi hatinya belum tentu tunduk dan taat pada aturan Allah. Banyak aturan Allah yang dia terjang tanpa rasa bersalah, nafsunya masih dijadikan kompas penuntun mengarungi kehidupan. Kemajuan Bangsa Barat dan Konsep Dasar Islam Ada kisah menarik dari seorang ulama dan intelektual Muslim, namanya Muhammad Abduh. Pada tahun 1884 beliau berkesempatan mengunjungi Kita Paris- Prancis. Pada waktu itu Paris telah menjadi kota yang teratur rapi, indah dan bersih. Penduduknya memiliki etos kerja tinggi atau pekerja keras, ramah terhadap tamu, bersahabat dan negaranya berkembang maju. Dari kunjungan ini Muhammad Abduh berkesimpulan untuk mencoba membandingkan dengan kondisi kaum muslimin, beliau berkata; “Ra’aitu al-Islam wa lam ara Musliman wa ra’aitu al-Muslimin fi al-Arab wa lam ara Islaman”, artinya “Aku melihat Islam di Paris tapi aku tidak melihat orang Muslim disana, dan aku melihat Muslim di Arab negara Islam tapi aku tidak melihat Islam di sana”. Maka pertanyaan besar yang kemudian muncul di benak kita, kenapa realita kaum muslimin hari ini jauh tertinggal dari bangsa Paris, atau Barat secara umum? Jawabannya, apa yang orang-orang Prancis lakukan semuanya ada pada cabang iman yang tujuh puluh itu, yang menjadi konsep dasar bagi seorang muslim. Masalahnya, realitas kualitas ibadah umat Islam masih di taraf Islam belum Iman. Kalaupun menyatakan ber-Iman itu baru sebatas pengakuan saja. Jika seorang mukmin beragamanya sampai pada tingkatan iman, maka dengan mengamalkan cabang-cabang keimanan yang jumlahnya tujuh puluh itu dalam kehidupan sehari-hari dan menjaga konsistensi keimanan itu, maka mustahil umat Islam lemah, miskin, tertindas. Tidak mungkin juga orang Islam menjadi perusak lingkungan, berbuat zalim, berselisih antar sesama. Maka ketika kita, kaum muslimin ingin bangkit mengejar ketertinggalan, kita hanya’ perlu kesungguhan dalam mengamalkan Islam dibarengi dengan dengan penghayatan iman, tidak perlu silau dengan ragam ideologi diluar Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. Baca Juga Hak-Hak Buruh dalam Islam Ibadahritual dan ibadah sosial harus dipajang dalam satu etalase yang sama, sehingga agama benar-benar hadir untuk memberi kedamaian bagi banyak pihak, menghindari wajah agama yang kontra poduktif terhadap kemaslahan publik. Kerusakan agama tidak lain dapat dilihat sebagai kegagalan melihat dualisme ibadah:. Itulah mengapa terdapat Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah utusan di muka bumi. Tujuan untuk beribadah mengandung dimensi vertikal hablum minallah, sedangkan kata khalifah mengandung dimensi horisontal hablum minannas. Keduanya tentu saja tak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan yang tak dapat dihindarkan. Ada yang beranggapan kesalehan ritual yang kaitannya dengan ibadah kepada Allah lebih penting daripada kesalehan sosial. Sehingga hidupnya hanya digunakan untuk fokus pada hablumminallah saja. Secara sosial mereka kehilangan kepedulian pada lingkungan sekitarnya, karena hanya berfikir menjalankan tugasnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka melupakan hakikat tujuan diciptakannya manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Padahal Al-Qur’an mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan hubungan sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan kata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan sosial. Ironisnya, keduanya tidak selalu dapat berjalan beriringan. Tak jarang kita temui orang-orang yang tampak saleh, kerap menunjukkan simbol-simbol agama, tetapi justru menodai agama dengan perilaku tercela. Shalat setiap hari, tetapi korupsi tak pernah berhenti. Haji dan umrah berkali-kali, tetapi abai dan tidak peduli dengan nasib para mustadh’afin, kaum fakir miskin. Rajin mengunjungi majelis taklim tetapi juga rajin menggunjing, memfitnah, menebar ujaran kebencian di sana-sini. Diriwayatkan, seorang sahabat Rasulullah pernah melaporkan bahwa ada orang yang sedemikian tekun beribadah, sehari-hari pekerjaannya di masjid tanpa henti. Nabi kemudian menanyakan siapa yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pertanyaan itu dijawab, bahwa tidak ada. Ternyata, seseorang yang berlebih-lebihan dalam kegiatan ritual itu, oleh nabi sendiri, dianggap keliru. Dijelaskan bahwa, siapapun harus hidup sebagaimana lazimnya, yakni mencari rezeki, mengembangkan ilmu pengetahuan, memenuhi hak-hak keluarganya, dan seterusnya. Maka artinya, kesalehan ritual harus disempurnakan dengan jenis kesalehan lainnya. Juga di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa, orang yang melakukan shalat tetapi lalai akan shalatnya disebut sebagai pendusta agama dan mendapatkan ancaman masuk neraka. Hal ini disebutkan dalam Surat Al-maun فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ. "Maka celakalah orang yang shalat," الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ. "yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya," Pun juga sebaliknya, orang-orang yang hanya mengumpulkan dan membangga-banggakan hartanya, tetapi mengabaikan lingkungan sekitarnya yang kekurangan, tidak mempedulikan nasib kehidupan orang miskin dan anak yatim, maka neraka wail adalah tempatnya. Ancaman itu sedemikian berat, namun ternyata tidak selalu memperoleh perhatian. Kebanyakan dari kita hanya sibuk berdiskusi dan membincang tentang shalat khusu' dan berusaha menjalankan sesuai dengan contoh yang dilakukan oleh Rasulullah. Kegiatan tersebut, tentu bukan berarti tidak penting, akan tetapi masih ada lainnya yang juga tidak kurang urgennya, ialah bagaimana kesalehan ritual itu membuahkan kesalehan sosial. Islam dan Al-Qur’an menuntun manusia dalam tiga bangunan hubungan. Pertama, membangun hubungan dengan Allah. Kedua, memperkuat hubungan dengan dirinya dan yang terakhir, menyelaraskan hubungan dengan sesama manusia. Jika menelusuri substansi dari setiap konteks dari teks kesalehan tersebut maka akan lebih terasa dimensi-dimensi sosial yang dikandungnya. Sebagian besar pemeluk agama cenderung menampilkan formalitas ritual ibadahnya untuk menunjukkan jati diri mereka dalam beragama, mereka melakukan ketaatan beribadahnya kepada Allah dengan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi pada saat yang sama mereka abai, mereka justru meninggalkan esensi ibadah yang sangat berharga dalam kesehariannya, sebuah ibadah yang mempunyai efek nilai sosial positif pada lingkungan sekitarnya. Dalam melaksanakan amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak terbatas apa yang ada dalam rukun Islam yang lima saja. Ini menunjukkan bahwa kebaikan seseorang tidak cukup dengan melakukan kesalehan untuk dirinya sendiri. Tetapi akan lebih sempurna ketika ia melakukan kesalehan disamping untuk kepentingan dirinya sendiri, juga untuk kepentingan masyarakat di sekitarnya. Di antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di masjid, harus diimbangi dengan rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum yang lemah. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan. Tekun bermunajat memohon pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi pertolongan kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang lain. Inilah wujud nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di pesan Nabi Saw, خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain”. HR. Ahmad. Pada akhirnya, kesalehan sosial bertujuan untuk mencapai nilai-nilai sosial melalui gerakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan merupakan bagian dalam upaya untuk menghilangkan strata sosial yang timbul dari kepedulian sosial dari dalam diri masing-masing. Nurul Badruttamam, Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU SZXqko. 447 262 261 4 365 186 43 434 75

mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial